PANCA USAHA TANI DAN PERKEMBANGANNYA (DARI BIMAS HINGGA PTT)
Pada tahun 1950 an upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi padi ditekankan pada perluasan areal sawah dan pembangunan dan perluasan system irigasi. Pada era tersebut peningkatan luas lahan sawah di indonesia meningkat cepat karena ada konversi lahan tebu menjadi lahan padi. Rata-rata produksi padi pada tahun 1956-1960 hanya mencapai 2 ton per hektar (Jatileksono, 1987).Swasembada beras sudah menjadi program utama pemerintah pada tahun 1960. Sehingga pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Program Intesifikasi pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi mulai dilakukan pada tahun 1960 an melalui program BIMAS (Bimbingan Masal). Program ini memiliki lima kegiatan utama dalam pertanian atau disebut Panca Usaha Tani, yang meliputi lima paket teknologi yaitu :
1. Penggunaan varietas unggul
2. Pemupukan
3. Pengendalian hama dan penyakit
4. Irigasi
5. Pengolahan tanah yang baik
Pada pertengahan tahun 1960 program BIMAS digalakan secara nasional. Pada tahun1968 program ini telah mencapai satu juta hektar. Kemudian pemerintah mengucurkan dana bantuan kredit dan subsidi melalui program INMAS (Intensifikasi Masal). Pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program INSUS (Intensifikasi Khusus), yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi Pasca Usaha Tani melalui kelompok-kelompok tani dengan luas areal per kelompok rata-rata 50 hektar,setiap kelompok diberi bantuan kredit modal dalam menjalankan usaha pertaniannya (Lokollo, 2002)
Kemudian pada tahun 1980 an pemerintah meluncurkan program SUPRAINSUS (SI). Program ini merupakan pengembangan dari Panca Usaha Tani untuk mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padi. Secara umum dengan menerapkan teknologi S I Paket D yang meliputi 10 teknik budidaya padi yang baku, yaitu:
1. Penanaman varietas unggul
2. Penyiapan tanah secara sempurna, (air : tanah = 1:1)
3. Penggunaan benih bermutu dan berlabel biru
4. Pemupukan berimbang
5. Penggunaan ZPT atau pupuk cair
6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan konsep PHT
7. Penggunaan air secara teratur dan efisien
8. Penerapan pola tanam
9. Perbaikan pascapanen
10. Populasi tanaman >200.000/ha
Pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Pengelolaan Tanaman Terpada (PTT), program ini berbeda dengan SI dalam hal penekanan terhadap komponen teknologi yang diterapkan (Suyamto et al, 2007). PTT lebih menekankan komponen teknologi yang mempunyai efek sinergis. Sebagai contoh, pemakaian benih bermutu dan berlabel dalam SI dirinci menjadi pemakaian varietas unggul, benih bermutu, bibit muda, dan populasi tanaman optimal. Pemupukan berimbang dalam SI dirinci menjadi pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P&K berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), dan penggunaan bahan organik. Pengendalian OPT dan PHT dalam SI dirinci menjadi pengendalian gulma terpadu, dan pengendalian hama penyakit terpadu. Penggunaan air secara teratur dan efisien dalam SI dirinci menjadi penerapan pengairan berselang (intermittent). Selanjutnya, pengurangan kehilangan hasil waktu panen dan pascapanen diarahkan kepada penggunaan kelompok pemanen dan alsintan. Namun, sistem komando yang top down dirasakan sangat kental dalam pelaksanaan SI tidak dilaksanakan dalam pemasyarakatan PTT.
Urutan anjuran teknologi produksi padi pada PTT adalah:
1. Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi tinggi.
2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi.
3. Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi.
4. Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah.
5. Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat melalui:
· pengaturan tanam sistem legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung, dengan tetap mempertahankan populasi minimum.
· penggunaan bibit dengan daya tumbuh tinggi, cepat dan serempak yang diperoleh melalui pemisahan benih padi bernas (berisi penuh),
· nanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang.
· pengaturan pengairan dan pengeringan berselang, dan
· pengendalian gulma.
6. Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu.
7. Penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin.
Selama tahun 2006 program PTT telah diadopsi di tingkat petani seluas 0,5 juta hektar, dan diharapkan dapat mencapai 2,5 juta hektar lima tahun berikutnya.
Bersamaa dengan program PTT muncul program Sytem Rice Intensification (SRI) yang diinisiasi oleh Dr. Norman Upoff, dari Cornell University Amerika. Dia melakukan penelitian di Madagaskar dan telah menerapkan SRI dibeberapa Negara penghasil beras di dunia termasuk di Indonesia. SRI secara intensif disebar luaskan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia. Pada dasarnya teknologi yang diterapkan oleh model PTT dan SRI sama, hanya strateginya berbeda. Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan bahan organik. Penggunaan bahan organik yang diintegrasikan dengan teknik pengairan berkala akan mampu menyediakan hara untuk kebutuhan tanaman padi. Namun peneliti dari IRRI menyatakan banyak kelemahan yang ada dalam SRI, yaitu pertama pemberian bahan organic/pupuk kandang sebanyak 10 ton per hektar tidak efesien dan yang kedua penggunaan jarak tanam renggang mengakibatkan kurangnya populasi tanaman, sehingga tangkapan radiasi matahari untuk dikonversikan menjadi hasil gabah padi menjadi kurang
PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI DALAM PROGRAM INTENSIFIKASI PADI DI INDONESIA.
Kegiatan pemuliaan tanaman padi di Indonesia telah dimulai sejak 1905 dengan berdirinya General Agricultural Research Station (GARS) at Bogor. Dengan menggunakan gen pool plasma nutfah padi yang seadanya persilangan tanaman padi telah tercatat sejak tahun 1920an (Darwanto,1993). Pada tahun 1941, Lembaga Pusat Penelitia Pertanian (LP3) merakit beberapa varietas padi seperti Bengawan, Fajar, Peta, kemudian diikuti Sigadis (1953), Remaja (1954) dan Jelita (1955). Pada tahun 1960 varietas berdaya hasil tinggi Dara, kemudian diikuti oleh Shinta (1963), Dewi Tara (1964), Arimbi dan Bathara (1965).
Bersamaan dengan program BIMAS maka diintroduksi varietas IR8 dan IR5 dari Internatioal Rice Research Institute (IRRI). Pada tahun 1969 dilepas varietas semi dwarf pertama hasil rakitan Indonesia yaitu Dewi Ratih. Pada tahun 1970 di rakit varietas Pelita 1/I dan Pelita 1/II yang mempunyai rasa nasi enak.
Pada tahun 1970 terjadi ledakan hama wereng, sejumlah varietas padi yang ada di Indonesia tidak tahan terhadap hama itu. Mulai lah introduksi varietas IR26 dan IR28 untuk mengatasi hama tersebut pada tahun 1978. Beberapa Varietas menjadi varietas anjuran dalam program INSUS dan SUPRA INSUS. Varietas-varietas tersebut tahan terhadap hama wereng jenis biotipe1. Program penyeragaman varietas pada INSUS dan SI, mengakibatkan hama wereng dapat mematahkan ketahanan varietas-varietas tersebut menjadi biotipe 2. Maka terjadilah ledakan hama wereng biotpe 2 di awal tahun 1980an. Kemudian diIntroduksi IR30, IR32, dan IR36, sedangkan varietas yang dirakit sendiri adalah Semeru, Citarum, Cimandiri dan Cisadane yang memiliki rasa nasi baik untuk mengatasi serangan wereng biotipe 2.
Pada tahun 1986 terjadi perubahan hama wereng menjadi biotipe 3, untuk mengatasi hal tersebut diintroduksi varietas tahan biotipe 3 yaitu IR66. Namun yang paling fenomenal adalah varietas IR64 dilepas pada tahun 1986. Varietas ini menempati urutan pertama hingga saat ini dalam luas penyebarannya. Varietas rakitan sendiri yang tahan biotipe 3 adalah Barumun (1991) dan Memberamo (1999). Pada tahun 2000 an sejumlah varietas padi dirilis dengan latar belakang genetik IR64, seperti way apo buru, Ciherang, Cisantana, Angke, Code, Ciujung, Cibogo, Cigeulis, dan Mekongga.
Pada tahun 2003 dilepas padi tipe baru, yang merupakan idiotipe padi masa depan dengan anakan sedikit tetapi jumlah gabah per malai banyak. Pada tahun 2001 dilepas varietas hibrida pertama Intani 1 dan 2 dari PT Biji, sedangkan dari institusi pemerintah Maro dan Rokan, hingga 2007 telah dilepas 30 varietas hibrida di Indonesia. Pada level pengujian varietas hibrida memiliki hasil lebih tinggi 10-20% dibanding dengan inbrida.
Hingga tahun 2007 jumlah varietas padi yang telah dilepas sebanyak 190 buah dari berbagai macam zona agro ekosistem (ZAE) padi dan karakter-karakter unik yang dimilikinya. Namun demikian dominansi hanya pada beberapa varietas yaitu IR64 , Ciherang, Way apo buru dan Memberamo. Hal tersebut sangat mengkwatirkan mengingat perkembangan hama penyakit sangat dinamis terlebih jika adanya keseragaman genetik di lapangan.
Menurut Darwanto (1993) berdasarkan analisis faktor produksi, adopsi varietas unggul dalam peningkatan produksi padi nasional berada pada peringkat pertama selanjutnya adalah penggunaan pupuk, pembangunan irrigasi dan angka buta huruf petani.
DAFTAR PUSTAKA
Darwanto, D.H. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia. Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos
IRRI. 2007. Varietas unggul padi sawah 1943-2007 Informasi Ringkas Teknologi Padi.Rice Knowedge Bank.IRRI
Jatileksono, T. 1987. Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
LITBANG DEPTAN. 2007. Petunjuk Teknis PTT :Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian .Jakarta.
Lokollo E.M. 2002.Adoptionand Productivity Impacts of Modern Rice Technology in Indonesia. Paper presented on the Workshop on Green Revolution in Asia and Its Transferability to Africa,December 7-10, 2002, Tokyo, Japan
Suyamto, I.Las, H.Sembiring dan M.Syam. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT. PUSLITBANGTAN.Bogor.