Rabu, 30 November 2011

Pengendalian Alami dan Ekosistem Padi Hibrida


Pengendalian hama terpadu (PHT) adalah suatu cara pendekatan atau cara berfikir tentang pengendalian OPT yang didasarkan pada pertimbangan ekologi dan efesiensi ekonomi dalam rangka pengelolaan agroekosistem berwawasan lingkungan yang berkelanjutan.

Penerapan PHT tidak secara langsung menigkatkan hasil tetapi mengamankan harapan hasil yang akan diproleh dari suatu investasi dalam usaha tani. Oleh karena itu sesuai dengan prinsip PHT, maka pengendalian untuk menekan kehilangan hasil dilaksanakan dengan memadukan berbagai cara pengendalian yang tersedia di pusat produksi.

Perpaduan taktik pengendalian harus dipilih sedemikian rupa dalam suatu sistem yang harmonis untuk mencapai hasil yang optimal. Penerapan taktik - taktik pengendalian hendaknya diusahakan harmonis dan kompitabel dengan kegiatan proses produksi yang secara rutin telah biasa dilakukan oleh petani sehingga tidak perlu menambah biaya produksi atau menghadapi risiko lain yang mungkin lebih besar.

Sejalan dengan perkembangan teknologi pengendalian OPT, PHT berkembang dengan prinsip memadukan berbagai taktik pengendalian antara lain cara mekanik, bercocok tanam, pengendalian lainnya sesuai kondisi setempat.

Dalam penerpan PHT di Lapangan dengan perpaduan berbagai taktik pengendalian beberapa hal yang harus diperhatikan antara lain ;

a. Pemanfaatan pengendalian alami setempat.
Menciptakan keadaan lingkungan dengan budidaya tanaman sehat, sehingga memungkinkan tetap berfungsinya agen hayati (organisme) pengendali alami secara maksimal dan mengusahakan untuk mengurangi tindakan - tindakan yang dapat merugikan atau memtikan agens pengendali alami.
Budidaya tanaman sehat merupakan kegiatan pokok dan mendasar keberhasilan PHT. Tanaman yang sehat akan lebih tahan terhadap serangan OPT dibandingkan dengan tanaman yang lemah, tanaman sehat lebih capat mengatasi kerusakan yang terjadi melalui proses penyembuhan dan kompensasi.
Di dalam suatu ekosistem, keseimbangan populasi antara OPT dan mush alaminya seperti predator dan parasitoid perlu dipertahankan. Bila pada suatu tempat tidak dijumpai OPT, maka musuh alaminya juga tidak akan dijumpai karena tidak tersedianya makanan. Oleh karena itu di dalam ekosistem pertanian perlu tetap di jaga adanya tingkat populasi OPT yang kemungkinan musuh alami dapat bertahan terhadap kepadataan OPT ditempat itu. Dengan demikian kepadatan populasi musuh alami dapat dipertahankan untuk mengendalikan OPT.

b. Pengelolaan ekosistem dengan cara bercocok tanam.
Bertujuan untuk membuat lingkungan tanaman menjadi kurang sesuai bagi kehidupan dan pembiakan atau pertumbuhan OPT serta mendorong berfungsinya agens pengendali hayati. Ekosistem pertanian merupakan sistem yang dinamik bervariasi dari waktu ke waktu lainnya dari suatu tempat ke tempat lainnya. Ekosistem pertanian sangat peka terhadap berbagai perubahan yang terjadi di dalam maupun dari luar ekosistem. PHT merupakan bagaian integral dari pengelolaan ekosistem pertanian, oleh karena itu agar memproleh hasil Pengendalian OPT yang baik diperlukan pemahaman tentang sifat ekosistem pertanian yang dikelola. Beberapa teknik bercocok tanam antara lain ;
- Penanaman varietas tahan - Tanam serentak dan pengaturan saat tanam
- Pengaturan jarak tanam - Penanaman benih sehat dan bermutu
- Penanaman tumpangsari - Pergiliran tanam dan pergiliran varietas
- Pengelolaan tanah dan air - Sanitasi lingkungan
- Pemupukan berimbang - Penetapan masa tanam







Sumber : Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjentan, Pedoman Pengendalian OPT Padi Hibrida, 2008, Jakarta Direktorat Perlindungan Tanaman Pangan, Ditjentan, Pedoman dan Diteksi Serangan Organisme Pengganggu Tumbuhan , 2007, Jakarta

Minggu, 01 Mei 2011

Pengendalain Hama Wereng Batang Coklat

Penyebab timbulnya WBC...

Kemampuan berkembang biak WBC sangat tinggi, bertelur banyak (100-600 butir), siklus hidupnya pendek (kurang lebih 28 hari, yaitu stadia telur kl 8 hari, nimfa kl 18 hari, imago praoviposisi kl 2 hari), masa hidup imago dewasa kl. 8 hari, mempunyai daya sebar cepat, dan daya serang ganas. Laju perkembang-biakan pada varietas peka dengan lingkungan optimum dalam satu musim tanam dapat mencapai 2000 kali.
Adanya penanaman varietas rentan/peka dan pola tanam yang tidak teratur, sebagai pemicu perkembangan dan penyebaran WBC.
Penggunaan insektisida yang tidak bijaksana, tidak memenuhi 6 tepat (jenis, konsentrasi, dosis, volume semprot, cara, waktu dan sasaran), sehingga WBC dapat menjadi kebal terhadap insektisida dan terbunuhnya musuh alami menyebabkan WBC cepat berkembang. Gunakan insektisida yang terdaftar dan diijinkan untuk padi. Apabila di persemaian dan atau tanaman muda belum ada WBC tetapi disemprot insektisida maka semakin berpeluang untuk terserang hama WBC.
Serangga dewasa dan nimfa menetap dan menghisap pelepah daun di bagian bawah/pangkal tanaman, sehingga petani kurang perhatian sejak dini.
Pengaruh faktor iklim mikro yang lembab dan hangat. Tidak hanya musim hujan tetapi musim kemarau yang basah menjadi pendorong perkembangan dan ledakan WBC.

Kerusakan tanaman oleh WBC

Apabila populasi tinggi, warna daun dan batang tanaman berubah menjadi kuning, kemudian berwarna coklat jerami, dan akhirnya seluruh tanaman bagaikan disiram air panas kuning coklat dan mengering (hopper burn).
WBC juga menularkan penyakit virus kerdil rumput dan kerdil hampa.

Karakteristik WBC

WBC berukuran kecil, nimfa yang baru menetas berukuran 1 mm dan dewasa 3 mm.
Bentuk makroptera merupakan indikator populasi pendatang dan emigrasi, sedangkan brakhiptera merupakan populasi penetap yang biasanya menghasilkan keturunan yang menyebabkan kerusakan tanaman.
Populasi WBC dapat meningkat lebih tinggi dengan aplikasi insektisida yang tidak bijaksana karena dapat mengakibatkan resistensi (hama menjadi kebal) dan resurjensi (populasi menjadi berkembang lebih cepat terutama karena musuh alaminya musnah).

Pengendalian WBC

Pratanam (persiapan - persemaian) Persiapan benih bermutu bersertifikat yang tahan terhadap koloni WBC setempat.
Eradikasi/sanitasi singgang atau sisa tanaman yang terserang virus kerdil rumput dan kerdil hampa.
peningkatan pengamatan populasi WBC sejak awal persemaian.
Pemusnahan bibit/persemaian yang terserang berat WBC.

Fase tanaman muda (tanam - anakan maksimum/ (40 hst)
Menanam varietas yang telah terbukti tahan / toleran terhadap populasi WBC di daerah masing0masing. Hindari menanam varietas rentan/peka.
Tanam sistem legowo dan pemupukan NPK harus berimbang.
Tanamana yang terserang WBC berat dilakukan sanitasi selektif/eradikasi, demikian juga tanaman yang bergejala virus kerdil rumput dan kerdil hampa dilakukan sanitasi selektif/eradikasi.
Penggunaan insektisida efektif untuk WBC, yang terdaftar dan diijinkan untuk tanaman padi. Aplikasi pasa saat mencapai ambang pengendalian: populasi > 10 ekor/rumpun pada tanaman berumur kurang dari 40 hst.

Fase Primordia - tanaman tua ( ≥ 40 hst/primordial - menjelang panen)

Tanaman yang terserang berat dilakukan sanitasi/eradikasi selektif dan yang puso dieradikasi total.
Penggunaan insektisida apabila populasi ≥ 20 ekor/rumpun pada tanaman berumur ≥ 40 hst.
Kerapkali aplikasi insektisida menjadi tidak efektif dan tidak efisien karena populasi sudah terlampau tinggi, faktor pemilihan jenis insektisida dari segi sifat kerjanya dan teknik aplikasi yang tidak memenuhi 6 tepat.

PELESTARIAN MUSUH ALAMI
Banyak sekali musuh alami yang diketahui efektif untuk menekan perkembangan populasi WBC antara lain predator jenis laba-laba, kumbang Coccinelid, Ophionea, dan Paederus, kepik Cyrtorhinus, predator yang hidup di air, parasitoid telur seperti Anagrus, Oligosita, dan Gonatocerus, parasitoid nimfa dan dewasa antara lain Elenchus dan Pseudogonatopus, serta cendawan/jamur patogen serangga antara lain Beauveria bassiana, Hirsutella, dan Metarhizium.
Jangan menyemprot insektisida jika tidak perlu karena akan memusnahkan musuh alami.

Keterangan : Gb.1 Imago WBC sayap panjang/Makroptera (Foto Repro).
Gb.2 Siklus hidup WBC.
Gb.3 Telur WBC yang terparasit Gonatocerus sp.(Foto: Repro)
Daftar Pustaka:
Leaflet Pengamatan & Pengendalian Wereng Batang oklat (WBC)
Balai Besar Peramalan OPT
Penyusun:
Harsono Lanya, Mustaghfirin, Baskoro SW, Urip SR

Pengamatan dan pengendalian penyakit busuk pelepah tanaman padi

Busuk pelepah merupakan penyakit padi yang disebabkan oleh jamur pathogen Sarocladium oryzae (Sawada) dengan sinonim Acrocilindrium oryzae (Sawada).Busuk pelepah (Sheath Rot) merupakan penyakit padi pada saat ini masih rendah, sehingga masih dkelompokan dalam minor disease. Penyakit busuk pelepah sebenarnya bukan merupakan penyakit yang baru, bahkan telah dikenal lebih dari 23 tahun yang lalu, pada tahun 1987 Tim Penyakit padi Sentra Peramalan Hama (sekarang BBPOPT) bersama dengan expert dari Jepang Dr. Shizuo Mogi (ATA-162) telah mendeteksi keberadaan penyakit busuk pelepah tersebut. Pada lima tahun terakhir, setelah terjadi perubahan agroekosistem antara lain dengan introduksi beberapa varietas varietas baru dan juga adanya Dampak perubahan Iklim, penyebaran semakin meluas dan tingkat keparahan penyakit busuk pelepah semakin meningkat. Infeksi busuk pelepah dapat terjadi pada padi hibrida maupun non-hibrida. Sehingga diperkirakan dalam kurun waktu 3-5 tahun ke depan potensi penyakit busuk pelepah akan menjadi salah satu penyakit yang mematikan dan mengakibatkan kerugian berarti. Peningkatan kewaspadaan terhadap penyakit busuk pelepah harus dimulai dari sekarang, dengan mengenali tanda, gejala dan epidemiologi penyakit ini. Secara visual gejala penyakit akan lambat oleh karena infeksi terjadi pada stadia generatif ( pada bagian pelepah yang membungkus malai) disamping itu kondisi di lapang seringkali terjadi serangan komplek serangan OPT, khususnya dengan gejala beluk. serangan beluk. Seiring dengan semakin pesatnya perubahan agroekosistem di sekitar kita, kelihatannya berpengaruh pula terhadap penyakit penyakit potensial. Peningkatan virulensi yang mengakibatkan meningkatnya keparahan, dan meluasnya sebaran penyakit busuk pelepah ini. . Disebut dengan busuk pelepah karena penyakit ini secara visual dapat dikenali dengan infeksi pada bagian pelepah daun paling atas. Gejala awal bercak berbentuk bulat atau oval, berukuran 0,5 – 1,5 Cm, warna abu abu di tengahnya dan coklat abu abu dipinggirnya. Bercak dapat melebar menutupi seluruh pelepah daun. Infeksi yang berat mengakibatkan malai tidak muncul sama sekali , sebagian muncul dan muncul semua tapi hampa . Infeksi penyakit busuk pelepah mengakibatkan bulir hampa dan berpotensi gagal panen apabila infeksi dalam skala luas.Penyakit busuk pelepah dan gejala hama beluk seringkali ditemukan di sawah, sehingga bagi orang awam sulit membedakan diantara keduanya. Bulir bulir hampa yang ditemukan di lapangan akan susah dibedakan, seperti dinyatakan oleh petani dari Tangerang ,Banten pak Yusuf dan Mansyur yang menyebutnya sawah terserang hama uban., pada kenyataannya hampa pada bulir padi yang disebabkan oleh busuk pelepah dan beluk.Mengenali gejala serangan OPT dengan tepat sangat penting dilakukan, karena akan menentukan tindakan pengendalian.
Gejala
Gejala awal bercak bulat atau oval pada pelepah yang berukuran 0.5 Cm—1,5 Cm, warna abu abu di bagian tengah dan coklat abu dipinggirnya. Bercak dapat melebar menutupi seluruh permukaan pelepah daun, mengakibatkan malai tidak muncul tau muncul sebagian. Infeksi busuk pelepah dapat terjadi dalam satu rumpun, yang mengakibatkan tanaman kerdil dan sebagian besar bulir hampa.
Siklus Penyakit
Sampai saat ini informasi mengenai siklus penyakit busuk pelepah di Indonesia masih sangat terbatas. Meskipun penyakit ini telah banyak diteliti di India di daerah yang mempunyai iklim mirip Indonesia.
Sakthivel (2001) menguraikan siklus hidup penyakit busuk pelepah yang disebabkan oleh jamur patogen S. Oryzae adalah sebagai berikut.
Jamur patogen bertahan dan terbawa oleh benih yang terinfeksi, sisa pertanaman, tanah, singgang dan gulma. Pada benih dapat bertahan sampai dengan 4 bulan, pada pelepah daun yang disimpan disuhu kamar bertahan 7 bulan dan pada pelepah pada pertanaman dilapang bertahan 10 bulan. Beberapa gulma yang dapat berperan sebagai inang alternatif adalah Eleusine indica, Monochoria vaginalis, Cyperus teneriffae dan C. Iria. Tanaman bambu juga dilaporkan dapat terinfeksi oleh penyakit ini. S. oryzae menginfeksi melalui stomata atau luka. Infeksi oleh S. Oryzae akan mudah terjadi setelah tanaman lemah oleh serangan penggerek batang padi, kutu, atau infeksi penyakit virus tanaman yang lain. Kondisi lingkungan yang ideal untuk perkembangan penyakit ini adalah suhu 20—30o C dan kelembaban 65—85%.
Di Indonesia infeksi S. oryzae telah tersebar di beberapa tempat antara lain. Maros (Sulawesi Selatan) dan Purwakarta ( Jawa Barat) tanpa diikuti dengan serangan OPT lain, Tanggerang (Jawa Barat) di lokasi yang terserang berat Penggerek batang padi, Subang dan Bekasi setelah terserang berat oleh Wereng Coklat, Purwakarta (Jawa Barat), Manggarai(NTT), Siak ( Riau) komplek serangan dengan infeksi penyakit Cercospora sp.
Upaya Waspada Sejak Dini
Secara teknis upaya pengendalian masih sangat terbatas oleh karena sangat terbatasnya informasi penyakit busuk pelepah ini. Meskipun demikian mewaspadai penyakit ini lebih dini merupakan tindakan bijaksana yang dapat dilakukan , sambil menunggu informasi pengendalian yang paling tepat . Antara lain dapat dilakukan dengan.
1. Meningkatkan kemampuan pengamatan dalam mengenal tanda dan gejala penyakit busuk pelepah.
2. Mengkaji epidemiologi dan potensi merugikan penyakit busuk pelepah yang ada di Indonesia.
3. Melakukan budidaya tanaman sehat yang disesuaikan untuk menekan penyakit ini antara lain
Sanitasi gulma yang telah dikenal sebagai inang alternatif,
Seleksi benih, khususnya yang berasal dari daerah endemis penyakit busuk pelepah.
Aplikasi pupuk secara berimbang
Menjaga jarak tanam agar tidak terjadi gesekan antar tanaman yang mengakibatkan luka.
Mengendalikan OPT lain yang dapat mempermudah terjadinya infeksi penyakit busukpelepah.

Rabu, 27 April 2011

Intensifikasi Pertanian

PANCA USAHA TANI DAN PERKEMBANGANNYA (DARI BIMAS HINGGA PTT)
Pada tahun 1950 an upaya pemerintah untuk meningkatkan produksi padi ditekankan pada perluasan areal sawah dan pembangunan dan perluasan system irigasi. Pada era tersebut peningkatan luas lahan sawah di indonesia meningkat cepat karena ada konversi lahan tebu menjadi lahan padi. Rata-rata produksi padi pada tahun 1956-1960 hanya mencapai 2 ton per hektar (Jatileksono, 1987).
Swasembada beras sudah menjadi program utama pemerintah pada tahun 1960. Sehingga pemerintah berupaya keras untuk meningkatkan produksi padi guna memenuhi kebutuhan dikarenakan pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi. Program Intesifikasi pertanian terutama untuk meningkatkan produksi padi mulai dilakukan pada tahun 1960 an melalui program BIMAS (Bimbingan Masal). Program ini memiliki lima kegiatan utama dalam pertanian atau disebut Panca Usaha Tani, yang meliputi lima paket teknologi yaitu :
1. Penggunaan varietas unggul
2. Pemupukan
3. Pengendalian hama dan penyakit
4. Irigasi
5. Pengolahan tanah yang baik
Pada pertengahan tahun 1960 program BIMAS digalakan secara nasional. Pada tahun1968 program ini telah mencapai satu juta hektar. Kemudian pemerintah mengucurkan dana bantuan kredit dan subsidi melalui program INMAS (Intensifikasi Masal). Pada tahun 1979 pemerintah meluncurkan program INSUS (Intensifikasi Khusus), yang meningkatkan efektifitas penerapan teknologi Pasca Usaha Tani melalui kelompok-kelompok tani dengan luas areal per kelompok rata-rata 50 hektar,setiap kelompok diberi bantuan kredit modal dalam menjalankan usaha pertaniannya (Lokollo, 2002)
Kemudian pada tahun 1980 an pemerintah meluncurkan program SUPRAINSUS (SI). Program ini merupakan pengembangan dari Panca Usaha Tani untuk mewujudkan peningkatan produktivitas tanaman padi. Secara umum dengan menerapkan teknologi S I Paket D yang meliputi 10 teknik budidaya padi yang baku, yaitu:
1. Penanaman varietas unggul
2. Penyiapan tanah secara sempurna, (air : tanah = 1:1)
3. Penggunaan benih bermutu dan berlabel biru
4. Pemupukan berimbang
5. Penggunaan ZPT atau pupuk cair
6. Pengendalian Organisme Pengganggu Tanaman (OPT) dengan konsep PHT
7. Penggunaan air secara teratur dan efisien
8. Penerapan pola tanam
9. Perbaikan pascapanen
10. Populasi tanaman >200.000/ha
Pada tahun 2002 pemerintah meluncurkan program Pengelolaan Tanaman Terpada (PTT), program ini berbeda dengan SI dalam hal penekanan terhadap komponen teknologi yang diterapkan (Suyamto et al, 2007). PTT lebih menekankan komponen teknologi yang mempunyai efek sinergis. Sebagai contoh, pemakaian benih bermutu dan berlabel dalam SI dirinci menjadi pemakaian varietas unggul, benih bermutu, bibit muda, dan populasi tanaman optimal. Pemupukan berimbang dalam SI dirinci menjadi pemupukan N berdasarkan BWD, pemupukan P&K berdasarkan Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS), dan penggunaan bahan organik. Pengendalian OPT dan PHT dalam SI dirinci menjadi pengendalian gulma terpadu, dan pengendalian hama penyakit terpadu. Penggunaan air secara teratur dan efisien dalam SI dirinci menjadi penerapan pengairan berselang (intermittent). Selanjutnya, pengurangan kehilangan hasil waktu panen dan pascapanen diarahkan kepada penggunaan kelompok pemanen dan alsintan. Namun, sistem komando yang top down dirasakan sangat kental dalam pelaksanaan SI tidak dilaksanakan dalam pemasyarakatan PTT.
Urutan anjuran teknologi produksi padi pada PTT adalah:
1. Penggunaan varietas padi unggul atau varietas padi berdaya hasil tinggi dan atau bernilai ekonomi tinggi.
2. Penggunaan benih bersertifikat dengan mutu bibit tinggi.
3. Penggunaan pupuk berimbang spesifik lokasi.
4. Penggunaan kompos bahan organik dan atau pupuk kandang sebagai pupuk dan pembenah tanah.
5. Pengelolaan bibit dan tanaman padi sehat melalui:
· pengaturan tanam sistem legowo, tegel, maupun sistem tebar benih langsung, dengan tetap mempertahankan populasi minimum.
· penggunaan bibit dengan daya tumbuh tinggi, cepat dan serempak yang diperoleh melalui pemisahan benih padi bernas (berisi penuh),
· nanaman bibit umur muda dengan jumlah bibit terbatas yaitu antara 1-3 bibit per lubang.
· pengaturan pengairan dan pengeringan berselang, dan
· pengendalian gulma.
6. Pengendalian hama dan penyakit dengan pendekatan terpadu.
7. Penggunaan alat perontok gabah mekanis ataupun mesin.
Selama tahun 2006 program PTT telah diadopsi di tingkat petani seluas 0,5 juta hektar, dan diharapkan dapat mencapai 2,5 juta hektar lima tahun berikutnya.
Bersamaa dengan program PTT muncul program Sytem Rice Intensification (SRI) yang diinisiasi oleh Dr. Norman Upoff, dari Cornell University Amerika. Dia melakukan penelitian di Madagaskar dan telah menerapkan SRI dibeberapa Negara penghasil beras di dunia termasuk di Indonesia. SRI secara intensif disebar luaskan oleh beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat yang ada di Indonesia. Pada dasarnya teknologi yang diterapkan oleh model PTT dan SRI sama, hanya strateginya berbeda. Strategi SRI lebih dipusatkan pada penggunaan bahan organik. Penggunaan bahan organik yang diintegrasikan dengan teknik pengairan berkala akan mampu menyediakan hara untuk kebutuhan tanaman padi. Namun peneliti dari IRRI menyatakan banyak kelemahan yang ada dalam SRI, yaitu pertama pemberian bahan organic/pupuk kandang sebanyak 10 ton per hektar tidak efesien dan yang kedua penggunaan jarak tanam renggang mengakibatkan kurangnya populasi tanaman, sehingga tangkapan radiasi matahari untuk dikonversikan menjadi hasil gabah padi menjadi kurang
PERKEMBANGAN VARIETAS UNGGUL PADI DALAM PROGRAM INTENSIFIKASI PADI DI INDONESIA.
Kegiatan pemuliaan tanaman padi di Indonesia telah dimulai sejak 1905 dengan berdirinya General Agricultural Research Station (GARS) at Bogor. Dengan menggunakan gen pool plasma nutfah padi yang seadanya persilangan tanaman padi telah tercatat sejak tahun 1920an (Darwanto,1993). Pada tahun 1941, Lembaga Pusat Penelitia Pertanian (LP3) merakit beberapa varietas padi seperti Bengawan, Fajar, Peta, kemudian diikuti Sigadis (1953), Remaja (1954) dan Jelita (1955). Pada tahun 1960 varietas berdaya hasil tinggi Dara, kemudian diikuti oleh Shinta (1963), Dewi Tara (1964), Arimbi dan Bathara (1965).
Bersamaan dengan program BIMAS maka diintroduksi varietas IR8 dan IR5 dari Internatioal Rice Research Institute (IRRI). Pada tahun 1969 dilepas varietas semi dwarf pertama hasil rakitan Indonesia yaitu Dewi Ratih. Pada tahun 1970 di rakit varietas Pelita 1/I dan Pelita 1/II yang mempunyai rasa nasi enak.
Pada tahun 1970 terjadi ledakan hama wereng, sejumlah varietas padi yang ada di Indonesia tidak tahan terhadap hama itu. Mulai lah introduksi varietas IR26 dan IR28 untuk mengatasi hama tersebut pada tahun 1978. Beberapa Varietas menjadi varietas anjuran dalam program INSUS dan SUPRA INSUS. Varietas-varietas tersebut tahan terhadap hama wereng jenis biotipe1. Program penyeragaman varietas pada INSUS dan SI, mengakibatkan hama wereng dapat mematahkan ketahanan varietas-varietas tersebut menjadi biotipe 2. Maka terjadilah ledakan hama wereng biotpe 2 di awal tahun 1980an. Kemudian diIntroduksi IR30, IR32, dan IR36, sedangkan varietas yang dirakit sendiri adalah Semeru, Citarum, Cimandiri dan Cisadane yang memiliki rasa nasi baik untuk mengatasi serangan wereng biotipe 2.
Pada tahun 1986 terjadi perubahan hama wereng menjadi biotipe 3, untuk mengatasi hal tersebut diintroduksi varietas tahan biotipe 3 yaitu IR66. Namun yang paling fenomenal adalah varietas IR64 dilepas pada tahun 1986. Varietas ini menempati urutan pertama hingga saat ini dalam luas penyebarannya. Varietas rakitan sendiri yang tahan biotipe 3 adalah Barumun (1991) dan Memberamo (1999). Pada tahun 2000 an sejumlah varietas padi dirilis dengan latar belakang genetik IR64, seperti way apo buru, Ciherang, Cisantana, Angke, Code, Ciujung, Cibogo, Cigeulis, dan Mekongga.
Pada tahun 2003 dilepas padi tipe baru, yang merupakan idiotipe padi masa depan dengan anakan sedikit tetapi jumlah gabah per malai banyak. Pada tahun 2001 dilepas varietas hibrida pertama Intani 1 dan 2 dari PT Biji, sedangkan dari institusi pemerintah Maro dan Rokan, hingga 2007 telah dilepas 30 varietas hibrida di Indonesia. Pada level pengujian varietas hibrida memiliki hasil lebih tinggi 10-20% dibanding dengan inbrida.
Hingga tahun 2007 jumlah varietas padi yang telah dilepas sebanyak 190 buah dari berbagai macam zona agro ekosistem (ZAE) padi dan karakter-karakter unik yang dimilikinya. Namun demikian dominansi hanya pada beberapa varietas yaitu IR64 , Ciherang, Way apo buru dan Memberamo. Hal tersebut sangat mengkwatirkan mengingat perkembangan hama penyakit sangat dinamis terlebih jika adanya keseragaman genetik di lapangan.
Menurut Darwanto (1993) berdasarkan analisis faktor produksi, adopsi varietas unggul dalam peningkatan produksi padi nasional berada pada peringkat pertama selanjutnya adalah penggunaan pupuk, pembangunan irrigasi dan angka buta huruf petani.


DAFTAR PUSTAKA
Darwanto, D.H. 1993. Rice Varietal Improvement and Productivity Growth in Indonesia. Unpublished Ph.D. Dissertation. University of The Philippines, Los Banos
IRRI. 2007. Varietas unggul padi sawah 1943-2007 Informasi Ringkas Teknologi Padi.Rice Knowedge Bank.IRRI
Jatileksono, T. 1987. Equity Achievement in the Indonesian Rice Economy. Yogyakarta. Gajah Mada University Press
LITBANG DEPTAN. 2007. Petunjuk Teknis PTT :Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Badan Litbang Departemen Pertanian .Jakarta.
Lokollo E.M. 2002.Adoptionand Productivity Impacts of Modern Rice Technology in Indonesia. Paper presented on the Workshop on Green Revolution in Asia and Its Transferability to Africa,December 7-10, 2002, Tokyo, Japan
Suyamto, I.Las, H.Sembiring dan M.Syam. 2007. Tanya Jawab Tentang PTT. PUSLITBANGTAN.Bogor.